Selain itu, Presiden Soekarno menunjuk Herman Wayoi, E.J. Bonay, dan Fritz Kirihio sebagai anggota MPRS asal Irian Barat dari utusan partai PNI.
Mereka bertiga bergabung bersama delegasi Irian Barat lainnya, yaitu Karubui, Marani, Suages dan Pdt. Frist Karubaba.
Kecewa dengan Indonesia
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia memenangkan sengketa Irian Barat melalui perjanjian New York. Tidak lama setelah itu, Frits kembali ke Belanda dan tinggal beberapa hari untuk menyelesaikan urusan pribadi.
Setelah menyelesaikan urusannya, Frits kembali lagi ke Indonesia. Frits sempat menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam Sekretariat Urusan Irian Barat.
“Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia, dan ia diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,” tulis Johannes Rudolf Gerzon Djopari dalam tesisnya yang dibukukan Pemberontakan Organisasi Indonesia Papua Merdeka.
Arsip Nasional Belanda yang menyimpan potret Frits pada 19 Agustus 1962 menuliskan deskripsi bernada antipati.
Frits Kirihio disebut sebagai mahasiswa Papua kontroversial, yang menyebabkan kehebohan setelah perjalanannya ke Jakarta. Oleh koleganya sesama putra Papua yang pro Belanda, Frits mendapat cap pengkhianat.
Frits mengemban amanat sebagai anggota MPRS hingga tahun 1967. Dalam Keputusan Presiden Nomor 222 tahun 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto itu, Frits diberhentikan dengan hormat. Menurut Drooglever, Frits kecewa dengan cara pemerintah Indonesia menangani Papua, khususnya dalam kebebasan berpendapat sehingga dia mulai melontarkan kritik.