TERUNGKAP! Jokowi Bisa Jadi Presiden Tiga Periode, Ini Alasannya

- 19 Desember 2020, 07:41 WIB
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. /@jokowi via PR Bekasi/

DENPASARUPDATE.COM - Wacana untuk masa jabatan presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk maju yang ketiga kalinya di Pilpres 2024 mulai menyeruak.

Adalah Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari yang melontarkan wacana tersebut.

Wacana tersebut, ia lontarkan ketika menjawab pertanyaan moderator tentang dinamika politik 2021 dalam webinar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang bertajuk “Indonesia’s Economic and Political Outlook 2021” Kamis 17 Desember 2020.

Baca Juga: SEGERA CEK! PLN Bagi-bagi Token Gratis Bulan Ini, Ini Membedakan Pelanggan Subsidi dan Non Subsidi

Ia menyebut bahwa kemungkinan tersebut sangat terbuka lebar. Asalkan, syarat utamanya adalah amandemen UUD 1945.

Bahkan, ia menyebut bahwa apabila ada peluang maju untuk ketiga kalinya, ia menyebut bahwa sosok yang tepat untuk digandeng adalah Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum DPP Gerindra, Prabowo Subianto.

"Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945,” ucapnya.

Baca Juga: Soal Tewasnya 6 Anggota FPI dan Demo 1812, GP Ansor: Jangan Gunakan Agama Sebagai Alat Politik!

Ia menyebut bahwa skenario tersebut bisa terjadi apabila ada keinginan para elite politik Indonesia menciptakan stabilitas politik dan menghindari pembelahan masyarakat yang mengerikan seperti Pilpres 2014 dan 2019.

“Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret,” katanya.

Ia menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Ramalan Cinta Zodiak Sabtu 19 Desember 2020 Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius, Pisces

"Jika keduanya bergabung maka tidak ada lagi dikotomi ‘cebong’ dan ‘kampret’ pada pemilu yang akan datang. Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan dimana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di pilpres 2019,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun menolak ide dari magister ilmu pemerintahan Essex University Inggris tersebut.

Refly Harun menilai walaupun mereka berdua dipasangkan, tidak akan menyelesaikan masalah dan tetap memunculkan kelompok oposisi yang sama.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 19 Desember 2020 Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo Tentang Cinta

"Menurut saya tidak menyelesaikan masalah juga kalau Jokowi berpasangan dengan Prabowo, karena akan muncul kelompok oposisi yang sama," tuturnya.

Meskipun saat ini pendukung setia Prabowo sudah meninggalkannya, Refly Harun menyampaikan akan tetap ada kelompok-kelompok kritis di luar pemerintahan.

"Tetap saja ada kelompok-kelompok di luar pemerintahan yang sekarang kritis terhadap pemerintahan yang ada dan merasa tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Karena sekarang Prabowo pun sudah dipersepsi sebagai bagian dari pemerintahan," ucapnya.

Baca Juga: NAH LO! Bobby Nasution, Mantu Presiden Jokowi Digugat ke MK Karena Ini

Refly Harun menegaskan dikotomi cebong dan kampret akan tetap ada, karena sekarang kampret memiliki presiden baru yaitu Anies Baswedan.

"Tadinya kita berpikir bahwa dengan menyerap Prabowo dalam pemerintahan, dikotomi itu sudah hilang, enggak! Bahkan sekarang rupanya ada penghulu kampret baru, and then his name is Anies Baswedan, kan seperti itu," tuturnya seperti dikutip Pikiran Rakyat Bekasi dari kanal YouTube Refly UNCUT, Jumat, 18 Desember 2020.

Jadi orang sekarang, ucap Refly Harun, justru melihat Anies Baswedan sebagai penghulu kampret dan dia akan dibutuhkan, kenapa?

Baca Juga: GILA! Sudah 'Main' Gratis, Oknum Polisi Polda Bali Diduga Peras PSK Korban PHK

"Kan kadang-kadang orang punya alasan untuk menakut-nakuti pemerintahan yang ada mengenai bahaya radikalisme, bahaya ekstrem kanan misalnya," ucapnya.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki sosok yang bisa mewakilkan mereka untuk menghadapi pemerintahan.

"Karena itu harus ada yang namanya the common enemy, musuh bersama itu haruslah orang yang bisa mengancam, Anies Baswedan salah satu orang yang bisa mengancam konstelasi politik 2024," tuturnya.

Baca Juga: SELAMAT! Ungguli Jawa Barat, Bali Raih Predikat Terbaik Dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi

"Kalau Ganjar kan dianggap satu kubu dengan Jokowi dan juga Prabowo, yaitu kubu kiri kan, kiri luar istilahnya. Sementara Anies Baswedan, Ridwan Kamil, itu bisa masuk ke dalam perkubuan yang kanan, atau tengah kanan," sambung Refly Harun.

Refly Harun tetap menyarankan presidential threshold dihilangkan agar kondisinya tidak seperti sekarang yang semua partai diborong oleh satu kekuasaan sehingga hanya menghasilkan satu Paslon di Pilpres.

"Jadi menurut saya, seharusnya yang perlu dihilangkan adalah presidential threshold, menghilangkan presidential threshold itu membuat pencalonan jauh lebih cair, sehingga sekat-sekat ideologi itu jauh lebih cair lagi," ucapnya.*** (Ghiffary Zaka/PR Bekasi)

 

 

 

Editor: Rudolf Arnaud Soemolang

Sumber: Pikiran Rakyat Bekasi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah