“Jika pada pada peraturan sebelumnya tidak diatur sama sekali mengenai layanan kesehatan bagi korban tindak pidana, maka pada peraturan baru sangat tegas untuk korban tindak pidana tidak mendapatkan dapat mengakses layanan kesehatan melalui mekanisme BPJS” ujar Edwin.
Baca Juga: Refleksi Awal Tahun LPSK: Tugas LPSK Bertambah, “Bensin”-nya Justru Dikurangi
Pasal 52 ayat (1) huruf r dalam Perpres tersebut diatur empat peristiwa tindak kejahatan yang tidak lagi ditanggung BPJS seperti tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Namun pada praktiknya saat ini semua tindak pidana tidak lagi dijamin BPJS” kata Edwin.
Baca Juga: Soal 6 Anggota FPI Tewas Oleh Polisi, LPSK Siap Lindungi Saksi dan Korban
Selain itu terhadap korban tindak pidana, Edwin juga menyoroti beberapa kelompok yang tidak mendapat lagi manfaat dari BPJS, seperti korban kecelakaan lalu lintas, korban bencana pada masa tanggap darurat dan lain sebagainya.
“Untuk kecelakaan lalu lintas misalkan, Jasa Raharja hanya menangggung maksimal 20 juta, lalu siapa yang menanggung biaya korban jika harus rawat ICU yang jumlahnya lebih besar ?” kata Edwin.
Baca Juga: Lembaga Keuangan Strategis dan Hindari Salah Kelola, DPRD Bali Usul Audit Rutin LPD
Edwin menambahkan akibat yang muncul setelah Perpres itu terbit, banyak korban kejahatan ditolak pada saat melakukan klaim BPJS di rumah sakit lalu diarahkan ke LPSK untuk menanggung biaya medisnya.
Padahal LPSK bukanlah lembaga penjamin kesehatan. Namun di sisi lain tidak ada lembaga lain yang juga memberikan jaminan kesehatan.