Blunder Rencana Bandara Bali Utara, Satgas Mafia Tanah Kejagung Investigasi ke Buleleng, Ini Sumbu Masalahnya

- 10 Februari 2022, 10:00 WIB
Desain rencana Bandara Internasional Bali Utara
Desain rencana Bandara Internasional Bali Utara /Kementerian PUPR/Denpasar Update

DENPASARUPDATE.COM –Tarik ulur rencana pembangunan Bandara Internasional di Bali Utara memicu blunder tak berujung. Penentuan lokasi di Buleleng Timur atau Buleleng Barat rupanya menjadi ladang permainan para mafia tanah.

Gelagat ini membuat Satuan Tugas (Satgas) mafia tanah Kejaksaan Agung (Kejagung), turun ke Kabupaten Buleleng melakukan investigasi.

Satgas ini mencari tahu sengkarut rencana pembangunan bandara di Desa Kubutambahan, batal dilaksanakan.

Baca Juga: SINOPSIS GOPI ANTV HARI INI: Berlinang Air Mata, Gopi Menangis, Kokila Ikut Ahem ke Mumbai?

 

Satgas mafia tanah disebut telah berada di Buleleng sejak Selasa, 8 Februari 2022, berjumlah 8 orang anggota dan sementara berkantor di Kejaksaan Negeri Buleleng.

Mereka mengumpulkan data dan keterangan pendukung terkait hal tersebut.

Satgas disebut telah meminta keterangan pada 7 orang yang terkait dengan hal tersebut. Sebanyak 2 orang diantaranya adalah pejabat di Pemkab Buleleng, 2 orang dari Kantor Pertanahan, serta 3 orang dari Desa Kubutambahan.

Baca Juga: Prediksi Skor dan Susunan Pemain PSIS Semarang vs Barito Putera di Laga Pekan ke 24 BRI Liga 1

 

Pada Rabu 9 Februari 2022 tim  satgas meminta keterangan dari pihak Kubutambahan. Diantaranya Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea, Perbekel Kubutambahan Gede Pariadnyana, serta Ketua Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Ketut Ngurah Mahkota.

Ketua Kompada Ketut Ngurah Mahkota mengaku pihaknya telah membawa setumpuk data dan kronologis peristiwa. Hal itu akan disampaikan pada Satgas Mafia Tanah Kejagung. Ia pun mengaku mendapat undangan untuk memberi keterangan terkait hal tersebut.

Menurutnya poin keberatan krama adalah addendum kontrak sewa lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan yang dilakukan pada 2012 lalu. Dalam addendum itu disebutkan bahwa kontrak lahan seluas 370,8 hektare dapat diperpanjang.

Baca Juga: 6 Zodiak yang Hoki dan Ketiban Rezeki Banyak Uang, Apakah Kamu Salah Satunya? Ramalan Jumat 11 Februari 2022

 

“Di sana ada klausul perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, sampai waktu tidak terbatas. Itu yang membuat kami keberatan. Itu pun tidak melalui putusan paruman,” kata Mahkota.

Mahkota mengatakan, krama hanya mengakui proses kontrak yang dilakukan pada tahun 2001 silam. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kontrak akan berakhir pada tahun 2031. Keputusan itu pun diambil melalui paruman yang disaksikan notaris serta pemerintah daerah.

Dalam kontrak awal juga disebutkan bahwa investor memiliki kewajiban mengelola lahan sebagai kawasan pariwisata. Disamping itu investor wajib membayar royalti pada desa adat setelah 5 tahun pengelolaan.

Baca Juga: POPULER HARI INI: Anak Bacok Ayah Kandung Sampai Tewas hingga Prediksi Skor Persija Jakarta vs Madura United

 

Apabila royalty tidak dibayar, maka investor dikenakan denda sebesar 3 persen per bulan. Apalagi royalty tak kunjung dibayar 3 tahun kemudian, maka investor dianggap wanprestasi. Sehingga kontrak dapat dibatalkan demi hukum.

“Mestinya ini sudah selesai tahun 2008 lalu, karena sudah wanprestasi. Faktanya sampai sekarang tidak ada pembangunan terus dan ditelantarkan. Rupanya investor hanya butuh SHGB di sana. Begitu dapat, dijaminkan di bank,” katanya.

Sementara itu Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea mengaku dirinya telah menerima undangan dari Kejagung. Menurutnya ia dipanggil terkait rencana pembangunan bandara yang terancam gagal, lantaran ada mafia tanah.

Baca Juga: AWAS! Ada Dilema dan Cinta Masa Lalu yang Datang, Apakah untuk Kamu? Simak Ramalan Shio Hari Ini!

 

Menurutnya bandara gagal dibangun bukan karena mafia tanah. Namun karena mediasi antara Pemkab Buleleng, Pemprov Bali, Desa Adat Kubutambahan, serta PT Pinang Propertindo yang kini menguasai tanah duwen pura desa adat, belum menemui titik temu.

Warkadea menyebut sejak awal pihaknya sepakat dengan skema Kerjasama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU). Skema ini memberikan jaminan bahwa tanah duwen pura yang terpecah dalam 61 sertifikat bidang tanah, tidak akan tergadaikan atau beralih status. Desa adat bahkan nantinya berhak atas deviden, royalty, serta CSR dari pengguna lahan.

Belakangan muncul skema lain. Versi Warkadea, skema itu disebut Program Strategis Nasional (PSN). Lewat skema itu, desa adat ditawarkan dua ops. Pertama, tanah akan diganti rugi dengan nilai sekitar Rp 50 miliar. Opsi kedua, akan dilakukan  tukar guling tanah.

Baca Juga: Sinopsis Terpaksa Menikahi Tuan Muda 10 Februari 2022: Abhimana Kinanti Syukuran, Amanda Kesal & Ganggu Anita

“Kami menolak, karena tidak sesuai skema awal. Kesepakatan kami di internal desa adat, kami tidak akan mengubah status tanah. Karena kalau mengubah status tanah, kami akan dikutuk leluhur. Kami harus mempertanggungjawabkan tanah itu. Daripada hilang tanah duwen pura, lebih baik tidak ada bandara,” tukasnya.

Sementara itu Humas Kejari Buleleng Anak Agung Jayalantara membenarkan saat ini Satgas Mafia Tanah Kejagung tengah berkantor di Kejari Buleleng. Hanya saja ia enggan menjelaskan substansi investigasi yang dilakukan satgas. ***

Editor: I Gusti Ngurah Kartika Mahayadnya

Sumber: Denpasar Update


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah