Ketahanan Pangan Nasional Hadapi Tantangan Berliku, Simak Alternatif Solusinya

22 Januari 2021, 14:18 WIB
Palawija sebagai sebagai kunci ketahanan pangan /tanipedia

DENPASARUPDATE.COM – Presiden pertama RI Bung Karno sejak awal berdirinya republik ini sudah mengingatkan pentingnya ketahanan pangan bagi sebuah bangsa. Itu isi sambutan Bung Karno pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama pembangunan Kampus IPB.

Sang Proklamator tegas mengatakan ketersediaan pangan tanpa impor adalah wajib menuju kemandirian. Pangan impor, berarti karya petani luar negeri. Bung Karno membangun Kampus IPB harapannya agar para anak muda di didik dan dibentuk jadi pemikir pangan bangsa ini, pelaku usaha di bidang pangan yang sehat dan kompetitif.

Tapi faktanya berdasar data Bank Dunia, saat ini pangan di Indonesia termahal di Asia Tenggara. Sehingga wajar jika banyak investor berbondong - bondong kabur pindah ke Vietnam. Salah satu sebab utamanya upah murah akibat pangan murah.

Baca Juga: POCO M3 Resmi Rilis di Indonesia, Simak Spesifikasi dan Harganya

Kalau dirunut ke hulunya, adanya pangan mahal di Indonesia akibat Harga Pokok Produksi (HPP) tinggi. Sebab utamanya karena SDM pertanian kita kurang inovatif dan iklim usaha pertanian belum sebaik di negara pesaing.

Pelaku usaha pertanian belum inovatif karena proses edukasi masyarakat pertanian tidak jalan. Para sarjana pertanian dominan tidak mau bertani sehingga gagal transfer iptek inovasi dari ahli pertanian ke masyarakat pertanian. Bukti gagalnya kampus mendidik insan pertanian.

Stabilitas harga pangan hal mutlak, karena bagian dari stabilitas nasional. Harga pangan naik berdampak langsung pada naiknya biaya hidup, inflasi, upah tenaga kerja, jumlah kemiskinan dan prosentase stunting.

Baca Juga: Tabur Bunga Dilokasi Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182, Tangis Duka Keluarga Korban Pecah

Mengatasi problematika dimaksud berikut solusi alternatifnya:  

  1. Harus serius membangun SDM pertanian inovatif. Manusia yang punya karakter dan kapasitas mumpuni dalam berusaha di bidang pangan agar jadi simpul masyarakat pedesaan agen perubahan dengan keteladanan nyata.

Bukan sekadar hafal sastra ilmu pertanian lalu lulus dan akhirnya bukan sebagai mengabdi pada sektor pertanian. Padahal investasi negara untuk mendidiknya butuh dana APBN jumlah besar. Jika tidak, maka tetap jadi sumber pemborosan ekstrim tersistematis berkelanjutan.

  1. Perbaikan iklim usaha pertanian. Agar menarik investor massal yaitu masyarakat Indonesia, agar juga bisa menekan HPP lalu mampu bersaing dalam laba yang sehat. Menjadikan betah setia bertani. Iklim usaha adalah kewajiban negara, di antaranya,

Baca Juga: Ini Profil Carlo Milk, Sosok Baru di Ikatan Cinta Aldebaran dan Andin

Inovasinya harus membumi hingga sampai yang berhak pembayar pajak yaitu masyarakat. Bukan hanya sekedar sudah terbit di jurnal ilmiah atau disimpan di lemari lara peneliti karena lupa akibat sudah naik pangkat jabatannya atau mungkin di pusat penelitian maupun perguruan tinggi.

Infrastruktur sarana produksi misal jalan maupun irigasi, ini hal penting sekali. Karena selama ini ongkos kirim pupuk dan mengambil hasil produksi jauh lebih mahal biayanya dibandingkan di luar negeri, sehingga tidak mampu bersaing di era globalisasi. Bahkan di dalam negeri saja bersaing dengan pangan impor.

Rendahnya bunga bank dan mudahnya mengakses modal kerja. Petani di luar negeri dapat kemudahan modal usaha dengan bunga sangat murah hanya 2 persen tahun. Dampaknya petani jadi makanan empuk bagi pedagang sarana pertanian yang harganya mahal karena mereka juga memakai utang bank bunga tinggi kolektif 12 persen per tahun.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 22 Januari 2021 : Erlangga Dapat Petunjuk, Al Curiga Anting-anting

Tata niaga yang harus lebih berpihak ke petani. Sarana pertanian apalagi hasil pertanian.

Arti dari uraian di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian pangan tiada akan mungkin bisa sukses jika hanya dikelola oleh satu kementerian, tanpa didukung sinergis oleh banyak pihak, banyak kementerian maupun lembaga negara. Utamanya partisipasi dari masyarakat Indonesia sebagai pelaku utamanya.

Kebijakan teknis pertanian. Ini hal sangat penting, artinya mesti dikaji ulang terhadap dtrategi selama ini. Karena politik telah berpihak, ditandai dengan naiknya anggaran APBN ke Kementan dan Kemendes. “Tapi hasilnya masih sama saja. Masih seperti yang berlalu. Jika tiada upaya beda maka hasilnya takkan beda pula. Masih bayak impor lagi. Sia - sia APBN tinggi Rp 125 triliun per tahun mengalir, jika hasilnya sama saj,” kritik Wayan Supadno, praktisi dan pengamat pertanian.

Baca Juga: Berharap Agar Kualitas Hidup Lebih Baik, Risma Serahkan 15 Gelandangan Bekerja di BUMN

Perlunya validasi data dan kalkulasi logis supaya mencapai target sasarannya. Bukan monoton atau itu-itu saja. Misal jika harus swasembada gula, kedelai dan bawang putih yang selama ini dominan impor. Maka harus pengembangan luas tanam. Estimasinya harus ada lahan baru 3 juta hektare lagi. Itu baru logis agar tidak berebut petani dan komoditas pada lahan yang sama. ***

 

 

Editor: I Gusti Ngurah Kartika Mahayadnya

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler