Berlama Depan Komputer, Laptop dan Gunakan Gawai Berlebihan Picu Penyakit Miopia

- 23 Februari 2021, 21:55 WIB
Ilustrasi anak bermain Hp dan gadget
Ilustrasi anak bermain Hp dan gadget /pixabay.com//

Oleh: dr. Iska Novi Udayani

DENPASARUPADATE.COM – Mata termasuk salah satu panca indera yang berperan vital terhadap kehidupan kita. Hal ini tidak lepas dari fungsi mata itu sendiri, di mana sebagian besar informasi yang diterima berasal dari mata.

Hampir semua aktivitas yang dilakukan manusia mengandalkan indra penglihatan. Jika sedikit saja mata mengalami masalah atau gangguan, maka aktivitas akan terganggu dan merasa kurang nyaman.

Ditengah pandemi Covid-19 pemerintah yang mengambil kebijakan di rumah saja atau work from home (WFH) dan study from home membuat pekerjaan dan kegiatan memfungsikan teknologi. Salah dengan meeting zoom atau pembelajaran abgi para siswa dilakukan dengan cara jarak jauh atau daring. Tanpa disadari masyarakat akan lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer, laptop, ataupun gawai.

Baca Juga: Daftar Segera, Pemerintah Kembali Buka Prakerja Gelombang 12

Bekerja dan belajar secara daring dalam waktu yang lama, tentu dapat berdampak buruk pada kesehatan mata. Penyakit mata yang paling sering terjadi akibat kebiasaan ini adalah rabun jauh atau dalam Bahasa medis dikenal dengan miopia. Maka tidak heran ketika berlama-lama selama berjam-berjam di depan computer, laptop kerap kali mata terasa lelah dan capek. Bahkan berlama-lama menggunakan hanphone. Ini juga yang dapat memicu terjadi penyakit Miopia.

Miopia (rabun jauh) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari sebuah benda difokuskan di depan retina pada saat mata dalam keadaan tidak berakomodasi (American Academy of Ophthalmology, 2011).

Miopia termasuk gangguan refraksi dimana merupakan penyebab utama ke-2 terjadinya gangguan penglihatan. Menurut WHO, prevalensi miopia pada anak berkisar antara 4,9% di Asia Tenggara sedangkan pada orang dewasa sekitar 32,9%. Prevalensi miopia terutama bergantung pada faktor keturunan (55%-65%) dan kondisi lingkungan (kurang mendapat sinar matahari, kekurangan vitamin D serta kebiasaan membaca atau menonton terlalu dekat).

Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi juga dapat menyebabkan kebutaan, walaupun presentasenya kecil yaitu 3%. Hal tersebut membuktikan bahwa kita tidak bisa menyepelekan penyakit ini dan harus mampu melihat gejala yang muncul sedini mungkin.

Halaman:

Editor: M Hari Balo

Sumber: Denpasar Update


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x