OPINI: Pendidikan Politik untuk Pemilih Pemula, Inisiatif Pemilu Berintegritas

22 Juni 2023, 23:30 WIB
Muhammad Ridwan, S.Pd. /Denpasar Update/

Oleh: Muhammad Ridwan, S.Pd.

ATMOSFER pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia bernama Pemilu 2024 semakin terasa dan menghangat. Publik menyebutnya tahun politik. Perlu dicatat, keberhasilan pesta demokrasi sangat tergantung tingkat partisipasi politik. Sebab kata Willeck & Mendelberg hal tersebut menjadi elemen penting dalam kewarganegaraan demokratis.

Hak untuk berpartisipasi adalah "the right of rights". Hak dasar menentukan bagaimana keputusan yang mempengaruhi kehidupan dibuat (Halabi, 2009). Melalui partisipasi, masyarakat mempengaruhi kebijakan publik, baik secara langsung maupun dengan mempengaruhi pemilihan orang-orang yang membuat kebijakan.

Partisipasi politik menjadi sarana bagi warga negara mengkomunikasikan pandangannya (Uhlaner & Irvine, 2015). Pemberian suara pada pemilu adalah bentuk partisipasi politik yang paling strategis. Mengingat pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat memilih perwakilannya pada lembaga-lembaga negara yang akan membuat kebijakan publik. Pemilu secara fungsional juga sebagai ruang bagi publik untuk memastikan kontrol atas otoritas dan akuntabilitas politik (Wojtasik, 2013).

Dengan kata lain, pemilu adalah mekanisme menuntut pertanggungjawaban politisi (Heywood, 2002). Perspektif buttom-up pemilu sebagaimana yang disampaikan Heywood menjadi selaras dengan perspektif deep democratization yang digagas Michael Jhonston dimana warga negara mampu membela diri dan kepentingannya melalui politik (Jhonston, 2014). Perspektif ini penting untuk memastikan pemilu sebagai sarana kedaulatan dalam menghasilkan politisi terbaik yang berjuang untuk kepentingan rakyat.

Institusi politik ekstraktif, korupsi yang terus menerus adalah cermin buruk tata kelola pemerintahan. Kondisi tersebut direspon secara kritis oleh publik. Rendahnya kepercayaan publik terhadap kelembagaan partai berdasarkan beberapa riset lembaga survei menjadi bukti sikap publik terhadap politik. Pada tahap yang lebih mengkhawatirkan, kelompok muda adalah subyek utama penyumbang rendahnya kepercayaan kepada institusi politik.

Berdasarkan survei lembaga Indikator Politik Indonesia, pada tahun 2021 menemukan 64,7 persen anak muda menilai partai politik atau politisi tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi (Farisa, 2021). Tahun 2022 Center for Strategic and International Studies (CSIS) merilis survei bertajuk pemilih muda dan pemilu 2024: Dinamika dan Preferensi Sosial Politik Pasca Pandemi menyatakan DPR sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan paling rendah yakni sebesar 56,5 persen (Dzulfaroh, 2022). Survei yang lebih spesifik dilakukan oleh Yayasan Plan Internasional Indonesia pada tahun 2023 menyatakan 54 persen remaja perempuan di Indonesia kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin politik saat ini (Wiryono, 2023). Hasil berbagai survei tersebut menjadi kontradiktif jika dihadapkan pada data KPU yang menyatakan anak muda dengan rentang usia 17-39 tahun sebagai pemilih mayoritas pada pemilu 2024.

Rendahnya kepercayaan anak muda terhadap politik hendaknya dibaca sebagai bentuk apatisme politik. Suatu sikap kurangnya keterlibatan psikologis dalam urusan publik, pada tingkat tertentu abstain dari aktivitas politik (Mason et al., 1991). Meminjam perspektif Azyumardi Azra bahwasanya faktor utama munculnya apatisme politik adalah tidak terselesaikannya berbagai kasus yang menjadi perhatian public.

Dalam konteks Indonesia apatisme politik jika tidak segera direspon bisa berakibat pada kian terbengkalainya agenda-agenda konsolidasi demokrasi (Azra, 2010). Oleh karena itu mendorong mekanisme buttom-up dalam pemilu menjadi pilihan paling strategis dalam memastikan pemilih muda terlibat dalam pemilu. Salah satu intervensi yang bisa didorong adalah melalui pendidikan politik untuk pemilih muda. Mengapa pendidikan politik dan pemilih muda sebagai subyek? Pendidikan politik adalah suatu proses penanaman nilai-nilai politik yang dilakukan secara sengaja, terencana, sistematis dan secara terus menerus hingga timbul kesadaran politik dan terlibat sebagai partisipan dalam mencapai tujuan politik (Handoyo & Lestari, 2017; Sunarso, 2007). Meminjam perspektif Giesecke, pendidikan politik dapat dpahami dalam arti aktionwissen yakni: 1). Mampu bertingkah laku cepat, cermat dan benar yang didukung oleh prinsip kebenaran dan keadilan. 2). Refleksi objektif, dan 3). Wawasan kritis (Dalam Handoyo & Lestari, 2017). Setidaknya terdapat empat tujuan pendidikan politik sebagaimana yang dikemukakan khoiron: 1). Mempromosikan perluasan kepentingan dan partisipasi dalam semua tingkatan pemerintahan. 2). Memperdalam dasar-dasar sejarah, filsafat, sosial ekonomi dan politik. 3). Menyemaikan komitmen dan keberpihakan yang rasional atas prinsip dan nilai fundalemental berdasarkan konstitusi. 4). Mempromosikan peran kelembagaan berikut nilai-nilai masyarakat sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Dalam Handoyo & Lestari, 2017).

Pendidikan politik memberi perubahan terhadap meningkatnya pemahaman mengenai hak dan kewajiban politik warga. Memberi pengaruh terhadap kondisi sosial, dan meningkatkan minat untuk terlibat dalam partisipasi politik (Husna & Fahrimal, 2021). Singkatnya pendidikan politik bertujuan untuk membentuk kesadaran warga negara tentang hak dan kewajibannya berdasarkan konstitusi (Sunarso, 2007). Mengapa pemilih muda sebagai subyek? Setidaknya terdapat tiga argumentasi yang melatari. 1) Pemuda adalah subyek penting dalam partisipasi politik menjelang pemilu 2024. Pemilih muda adalah pemilih mayoritas, mencapai 60 persen dari total pemilih. 2) Pemuda khususnya pemilih pemula memiliki sedikit literasi mengenai politik dan urgensi pemilu dalam negara demokrasi (Hajad & Ikhsan, 2019).

3) Kaum muda melalui platform media sosial secara aktif melakukan gerakan protes terhadap korupsi dan ketidakadilan. Platform media sosial menjadi medium baru dalam menyuarakan suara individu-individu untuk berpartisipasi dalam demokrasi (Saud & Margono, 2021). Kaum muda tidak hanya lebih peka terhadap tren elektoral tetapi juga memberi pengaruh kepada tren elektoral kepada yang lebih tua (Rekker, 2022). Temuan akademis tersebut memberi sinyalemen bahwasanya pemuda masih menjadi subyek utama dalam menciptakan perubahan sosial. Sejalan dengan itu, dalam konteks gerakan politik Indonesia, pemuda adalah pelopor perubahan(Setyowati, 2021).

Berdasarkan berbagai persilangan konseptual dan praksis sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, mendorong pendidikan politik sebagai suatu inisiasi menempatkan pemilu sebagai mekanisme koreksi perlu dilakukan. Pendidikan politik menjadi pendekatan paling strategis yang berpengaruh determinan pada aspek kognitif pemilih. Meminjam perspektif Halking, bahwasanya aspek kognitif bertujuan membangunan.

Pengetahuan politik warga negara (civic knowledge) terhadap konsep-konsep politik dasar sehingga menimbulkan kesadaran politik yang kritis (Dalam Yoesmar & Apriyani, 2019). Pendidikan politik ini dilaksanakan untuk memenuhi tiga tujuan berikut. 1). Mengenalkan konsep dasar politik dan pentingnya politik dalam kehidupan kolektif. 2). Mengenalkan fungsi-fungsi kelembagaan demokratis dalam pemilu. 3). Menimbulkan kesadaran kritis untuk terlibat dalam menghasilkan pemilu berintegritas.

Pentingnya Politik Dalam Kehidupan Kolektif

Pertanyaan mendasar yang paling sering didengar adalah apa itu politik dan mengapa kita membutuhkannya? Pertanyaan semacam ini merefleksikan betapa kehidupan kolektif sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari politik. Kekuasaan politik yang didapatkan melalui mekanisme pemilu memberi legitimasi bagi pemenang elektoral membuat kebijakan publik. Memberi dampak terhadap siklus kehidupan manusia. Dari lahir hingga mati tidak terlepas dari pengaruh politik. Untuk tema ini, pemateri berasal dari akdemisi Program Studi Ilmu Pemerintahan Ummat. Pemateri membekali peserta dengan pengetahuan yang relevan terkait pentingnya politik dalam

kehidupan kolektif. Salah satunya Meminjam perspektif Hannah Arendt mengenai politik sebagai aktivitas manusia yang paling penting karena melibatkan interaksi di antara warga negara yang bebas dan setara (Dalam Heywood, 2013). Tahapan selanjutnya menjelaskan terkait konsep umum mengenai politik sebagai kekuasaan dengan meminjam perspektif Harold Laswell dan perspektif Heywood terkait pendekatan politik dalam membuat, mempertahankan, dan mengubah aturan umum (Heywood, 2013). Peran politik dalam mencapai keputusan yang berdampak pada kepentingan bersama dan kepentingan yang saling bersaing dari para anggota kelompok. Urgensi mengapa politik penting dalam kehidupan bernegara dengan meminjam perspektif Heywood bahwasanya politik dibutuhkan untuk mencapai konsensus dan distribusi sumber daya (Heywood, 2013). Penjelasan atas berbagai konsep tersebut dilakukan dengan sebanyak mungkin memberi contoh yang relevan mengenai dampak politik terhadap kehidupan peserta sebagai pelajar maupun sebagai warga negara. Sebagian besar peserta tidak memiliki literasi politik dan pemilu yang memadai. Berbaga konsep yang dijelaskan adalah hal baru bagi para peserta. Hal ini cukup beralasan mengingat para peserta adalah para pelajar yang belum berada pada level pengetahuan yang lebih spesifik belajar mengenai politik dan pemerintahan sebagaimana pada jenjang perguruan tinggi.

Oleh karena itu, berbagai pandangan akademik tersebut disampaikan sebagai upaya mengenalkan, memperkuat aspek kognitif pemilih pemula mengenai politik dan keterikatan mereka dengan kehidupan politik. Mengingat tidak semua pemilih muda atau pemilih pemula memiliki akses dalam mendapatkan pengetahuan teoritis-konseptual yang memadai. Kesenjangan pengetahuan terhadap berbagai konsep tersebut mereduksi peluang pemilih muda atau yang dalam kegiatan pendidikan politik ini disebut sebagai pemilih pemula dalam memberi makna terhadap keterikatan mereka dengan politik. Penjelasan mengenai mengapa kita membutuhkan politik menambah khazanah pemikiran peserta untuk setidaknya terlibat dalam pemilu sebagai salah satu bentuk partisipasi politik. Penjelasan konseptual menjadi penting dalam meningkatkan kemampuan kognitif peserta. Sedikit tercerahkan adalah idiom yang merefresentasikan adanya perubahan. Tidak secara instan mampu mengubah seluruh pemikiran dan sikap politik, mengingat pendidikan politik adalah suatu usaha yang harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.

Peran KPU dan Bawaslu dalam Pemilu

Tugas dan fungsi kelembagaan penyelenggara pemilu dengan mengacu pada Undang-Undang N0 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dijelaskan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu. Sementara Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh apa yang menjadi Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu diatur dalam Undang Undang No 7 Tahun 2017

Setidaknya terangkum sebagai berikut: 1) Mengapa harus terlibat dalam pemilu. 2) Bagaimana menentukan pemimpin yang baik. 3) Apa yang dimaksud dengan dapil. Jika ditelaah berbagai pertanyaan tersebut mengindikasikan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pemilih pemula masih belum memiliki pengetahuan politik yang memadai. Dibutuhkan intervensi melalui pendidikan politik yang secara kontinu terus dilakukan. Terutama terkait konsep politik dan peran kelembagaan pemilu. 2) Pemilih pemula belum memiliki pengetahuan yang memadai terkait mekanisme pemilu. Untuk itu dibutuhkan sosialiasi politik dari penyelenggara pemilu, menyasar pemilih muda atau pemilih pemula sebagai subyek sosialisasi. 3) Pendidikan politik mempengaruhi aspek kognitif pemilih pemula untuk sadar hak dan kewajiban politiknya. Tergambar dari pertanyaan seperti untuk apa terlibat dalam pemilu, kriteria pemimpin politik seperti apa yang harus dipilih, hingga bermuara pada kesadaran pentinganya partisipasi politik dalam pemilu. ***

Penulis adalah Sarjana Pendidikan Undiksha Singaraja. Berdomisili di Sempidi, Mengwi, Kab. Badung, Bali. 

 

Editor: I Gusti Ngurah Kartika Mahayadnya

Sumber: Denpasar Update

Tags

Terkini

Terpopuler