Kuasai Afghanistan dengan Cepat, Ini Analisis Mantan Wakil Kepala BIN, Sebut Taliban Beda dengan ISIS

- 19 Agustus 2021, 10:27 WIB
Para Pejuang Taliban usai menguasai Ibukota Afghanistan, Kabul.
Para Pejuang Taliban usai menguasai Ibukota Afghanistan, Kabul. / REUTERS/

DENPASARUPDATE.COM - Kondisi peta perpolitikan di Afghanistan kembali berubah usai pasukan Taliban kembali menguasai Ibukota negara tersebut Kabul pada Minggu 15 Agustus 2021 lalu.

Perang kilat atau blitzkrieg yang dilakukan oleh Taliban tersebut telah membuat kaget banyak pihak.

Ini karena banyak kalangan menilai Taliban terlihat kekurangan pasukan dan senjata, serangan Taliban menjadi pukulan serius bagi pemerintah pusat dan moral pasukan keamanan Afghanistan.

Baca Juga: Berhasil Kuasai Ibu kota Kabul, Ini Daftar 5 Tokoh Utama Taliban yang Bersiap Menjadi Presiden Afghanistan

Pada pertengahan Agustus 2021, Taliban telah merebut sebagian besar negara, termasuk kota-kota strategis Kandahar dan Ghazni.

Kelompok Taliban menguasai Afghanistan setelah mengambil alih Istana Kepresiden di Kabul dan Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Kabul sejak Minggu 15 Agustus 2021 lalu.

Baca Juga: Kuasai Afghanistan, Taliban Segera Menyusun Pemerintahan Baru Sesuai Hukum Syariat Islam

Kepergian Presiden Ashraf Ghani tersebut membuat vacuum of power atau kekosongan kekuasaan di negara tersebut yang membuat Taliban kini memegang kendali kekuasaan atas Afghanistan.

Tetapi, banyak orang yang bertanya-tanya mengenai nasib Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban tersebut.

Baca Juga: Perang Saudara di Afghanistan Berakhir, Taliban Kuasai Kabul, Presiden Ashraf Ghani Malah Melarikan Diri

Berikut adalah analisis dari Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2001-2011, KH As’ad Said Ali, yang juga beberapa kali sempat melalukan dialog delegasi Taliban, sebagaimana dikutip dari akun media sosialnya dan telah dikonfirmasi.

Masa Depan Afghanistan?
Oleh KH. As'ad Said Ali

Taliban kembali berkuasa di Afghanistan setelah kehilangan kekuasaan diserbu oleh pasukan AS dan NATO pada 2001.

Taliban yang ketika itu dipimpin Mullah Umar dituduh tidak kooperatif menyerahkan Osama Bin Ladin setelah peledakan WTC sept 2001.

Padahal pemerintah “Imarah Islam Afghanistan” dalam perundingan dengan Amerika Serikat bersedia menyerahkan OBL dengan syarat diadili lebih dahulu oleh pengadilan netral.

Mullah Baradar merupakan salah satu calon kuat, dipilih sebagai kepala eksekutif oleh Mawlawi Akhundzada untuk memimpin Imarah Islam Afghanistan.

Sedangkan kekuasaan tertinggi berada di tangan Dewan Tertinggi Taliban yang terdiri dari para ulama atau semacam Ahlul Halli wal Ahdi, dan dipimpin oleh Akhundzada.

Taliban mengisyaratkan untuk menghormati HAM dan membebaskan wanita untuk bekerja.

Sebelum Kabul jatuh, Mullah Baradar berkunjung ke RRC berunding dengan para pemimpin negara tersebut.

Diduga, Taliban memilih menjalin hubungan lebih dekat dengan RRC, baik hubungan politik maupun ekonomi.

Masalah Uighur menjadi bargaining power di mana Afganistan yang berbatasan dengan propinsi Xinjiang (Uighur) menjadi kunci kendali terhadap tuntutan separatisme.

Amerika Serikat dan Rusia, keduanya pernah menduduki Afganistan, tidak menjadi prioritas.

Afghanistan dengan kekayaan tambang mineral yang melimpah, memerlukan investasi dan teknologi asing, dan RRC yang berbatasan langsung tampaknya menjadi pilihan utama.

Separatisme di Xinjiang menjadi agenda selanjutnya antara RRC dengan Rezim Afghanistan yang baru.

Taliban memerlukan legitimasi internasional, sehingga memerlukan dukungan dari negara muslim lainnya, dan dalam hal ini menyebut 4 negara sebagai prioritas, yaitu Indonesia, Arab Saudi, Iran dan Turki.

Turki penting, terkait soal Uighur yang keduanya mempunyai hubungan suku dan budaya. Sedangkan Iran, selain dalam konteks merangkul suku Hazara yang memeluk Islam Shiah, juga dalam konteks ekonomi untuk akses ke Samudera Hindia via pelabuhan peti kemas Chabahar yang sedang dibangun oleh Iran.

Saudi Arabia juga penting bagi Afganistan terutama bantuan ekonomi. Indonesia dianggap sebagai negara muslim sunni moderat yang berpengalaman mengelola persatuan nasional di tengah beragam suku bangsa dan potensi ekonominya besar.

Pakistan yg berbatasan langsung tidak termasuk empat negara di atas, mungkin terkait persengketaan wilayah “Duran line” yang diklaim Pakistan sejak kemerdekaannya.

Memenangkan perang lebih mudah dibanding membangun kembali persatuan bangsa. Tantangan yang dihadapi oleh Afghanistan mendatang adalah memulihkan keamanan dan ketertiban serta rekonsiliasi nasional serta pengakuan dunia.

Hal itu tergantung bagaimana Rezim Afganistan mengakomodasikan fraksi Haqqani dan Mullah Rasul yang pada masa lalu menjadi saingan, dan sikap terhadap eksistensi elemen ISIS dan Al Qaeda. Tanpa stabilitas keamanan, pemulihan ekonomi tidak mungkin dilakukan.

Sebagai catatan, Imarah Islam Afghanistan berbeda dengan khilafah ala ISIS, karena tidak menganggap sebagai penguasa dunia Islam. Tetapi para pendukung sistem khilafah kemungkinan akan menjadikannya sebagai isu politik untuk membangkitkan perlawanan di negara Islam lainnya.***

Editor: Rudolf Arnaud Soemolang


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x