DENPASARUPDATE.COM - Ratusan krama Desa Adat Intaran Sanur Denpasar melaksanakan demonstrasi menolak rencana pembangunan terminal LNG di kawasan wilayahnya, Minggu 19 Juni 2022 sore.
Menurut mereka pembangunan terminal LNG tersebut dilakukan di kawasan hutan mangrove yang merupakan bagian dari wilayah konservasi.
Seperti diketahui, PT Dewata Energi Bersih dan Perusda Bali berencana membangun Terminal LNG (Liquefied Natural Gas) di kawasan Muntig Siokan Sanur Denpasar
Baca Juga: Sambut Bali Mulai Ramai Wisatawan, Pelaku Pariwisata: Akhirnya Kembali Siuman Usai Pingsan Lama
Menariknya, dalam aksi tersebut, para krama desa yang turun ke jalan membunyikan kentongan atau kulkul desa adat dan banjar pun dipukul mengiringi aksi ini.
Tidak hanya itu, mereka juga membawa poster penolakan yang diiringi dengan gamelan baleganjur, sangkakala, tambur, dan ogoh-ogoh.
Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana menyebutkan bahwa pihaknya meminta agar pembangunan terminal LNG tersebut seharusnya tidak dibangun di kawasan konservasi.
"Kita harus tahu bahwa itu harusnya dibangun di (Pelabuhan) Benoa. Kalau di Muntig Siokan akan mengorbankan terumbu karang, pasir dikeruk, mangrove dibabat," kata Alit.
Pihaknya juga menyebut bahwa proyek tersebut akan mengorbankan terumbu karang.
Sebab ada rencana pengerukan pasir laut sebanyak 3,3 juta meter kubik untuk memuluskan kapal tanker masuk ke kawasan tersebut.
Ia menambahkan, jika proyek tersebut dilaksanakan di sana, dari 14 hektar mangrove, sebanyak 7.7 hektar akan terdampak.
Selain itu, 5 hektar benih terumbu karang yang baru ditanam saat pandemi juga akan terdampak.
"Lihat kelapangan kalau tidak pernah ke sana tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Berapa sih besar tempat di sana. Sesuai Perda RTRW Bali, Perda 3 tahun 2020 Pasal 33 huruf E jelas menyatakan lokasinya di Benoa," katanya.
Selain itu, di kawasan tersebut tercatat, ada enam pura yang berpotensi terdampak proyek tersebut yakni Pura Dalem Pangembak, Pura Suka Merta, Pura Tirta Empul, Pura Mertasari, Campuhan, Pura Kayu Penengen.
Ia mengatakan seharusnya proyek itu dilakukan sesuai aturan dan bukan proyek yang menyesuaikan dengan aturan.
"Kita tidak melawan pemerintah, kita melawan perusakan terhadap alam untuk anak cucu kita, harus pertimbangkan bagaimana hidup mereka nanti," katanya.
Baca Juga: Sambut Bali Mulai Ramai Wisatawan, Pelaku Pariwisata: Akhirnya Kembali Siuman Usai Pingsan Lama
Alit menambahkan, jika dari Kesiman hingga Serangan merupakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Seharusnya yang dibangun penunjang pariwisata. Setelah aksi ini pihaknya mengaku akan bergerak ke DPRD Bali.
Pihaknya juga mengaku sudah pernah bertemu pemerintah untuk menyampaikan keberatan.
Bahkan sudah bersurat ke Wali Kota Denpasar, DPRD Denpasar, Gubernur Bali, maupun DPRD Provinsi Bali.
Baca Juga: Viral Bikin Geger! Pemasangan Penjor Galungan Pakai Crane di Desa Tangeb Badung
Pihaknya bersurat pada tanggal 6 Juni 2022 lalu. Sementara untuk sosialisasi pembangunan baru dilakukan pada 21 Mei 2022.
"Harusnya sosialisasi dulu baru proyek, ini proyek dulu baru sosialisasi. Padahal kemarin delegasi GPDRR menanam mangrove di kawasan tersebut," katanya.
Pihaknya juga berencana akan bersurat ke Presiden Jokowi, namun saat ini pihaknya melakukan penyelesaian di daerah terlebih dahulu.
"Mari cari jalan terbaik, sesuaikan dengan Perda. Dari dulu kami di Sanur hidup dari pariwisata. Semua tahu akan bagaimana jadinya jika pariwisata bersanding dengan gas, dengan kapal tanker," katanya.***