Kisah Mayor I Gusti Putu Wisnu, Pahlawan Bali, Sahabat Karib I Gusti Ngurah Rai yang Gugur di Margarana

- 17 Agustus 2022, 08:47 WIB
Mayor I Gusti Putu Wisnu
Mayor I Gusti Putu Wisnu /Dok. Keluarga Mayor I Gusti Putu Wisnu

DENPASARUPDATE.COM - Mayor Wisnu adalah salah satu dari sekian banyak para pejuang Kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali.

Beliau dilahirkan di Klungkung pada tahun 1919, dengan nama I Gusti Putu Wisnu. Ayahnya, I Gusti Nyoman Oka adalah seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda-pen) yang berasal dari Banjar Penataran, Buleleng.

Wisnu kecil tumbuh besar di Klungkung hingga pada tahun 1926. Ia masuk HIS (Hollands Inlandsche School-SD di masa kolonial Belanda) di Denpasar dan lulus pada 1933.

Baca Juga: Kisah Petualangan Karaeng Galesong, Pangeran Makassar yang Ikut Trunojoyo Taklukan Kesultanan Mataram di Jawa

Setelah lulus HIS, Wisnu remaja kemudian melanjutkan ke MULO (Meer UItgebreed Leger Onderwijs-SMP Belanda-pen) di Malang.

Namun, ketika Wisnu remaja duduk di kelas 3, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang sangat ia cintai. Oleh karena ibunya meninggal dunia.

Setelah itu, bersama sahabatnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai) memasuki kursus kadet militer Belanda di Gianyar dan lulus dengan pangkat 2e Leutnant (Tweede Leutnant/Letnan Dua).

Kemudian Pemuda Wisnu bertugas di Korps Prayodha Singaraja. Sayangnya ia harus menutup karir kemiliteran Belandanya ketika Jepang masuk ke Bali.

Baca Juga: Kisah Frits Kirihio, Diberi Beasiswa oleh Belanda, Lalu Pasang Badan Untuk Merah-Putih

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membuat sebuah pendidikan militer untuk para pribumi yang dinamakan PETA (Pembela Tanah Air-pen).

Pemuda Wisnu pun bergabung dan mengikuti pendidikan militer di Ringshitai Singaraja, bersama Kemal Idris (kelak Pangdam Siliwangi), Pak Rai, dan Pak Pindha (I Gusti Ngurah Pindha, kelak Wakil Gubernur Bali).

Pemuda Wisnu yang sudah dikenal dengan panggilan “Pak”, lulus dengan pangkat Chudanco (setara Kapten).

Baca Juga: Bikin Bulu Kuduk Merinding, Kisah 'Hantu Laut' Marinir Bertemu Hantu Beneran di Medan Tempur Dwikora

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pak Wisnu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat-pen), dan diangkat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Kemudian bersama Pak Rai, Beliau ke Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunuk dari Mabes TKR dan meminta bantuan dalam rangka menghadapi Belanda di Bali.

Waktu Beliau kembali ke Bali, ternyata pasukan Belanda sudah mendarat di Bali pada bulan Februari 1946. Ketika itu, pasukan TKR Sunda Kecil tercerai berai dan terpencar.

Pak Wisnu bersama Pak Rai dan pemimpin pejuang lainnnya segara berusaha untuk mempersatukan pasukannya kembali.

Baca Juga: Takut Penampakan Lenin, Bapak Brimob Komjen Pol M Jasin Tak Bisa Tidur di Moskow, Begini Kisahnya

Selanjutnya, Pak Wisnu diangkat sebagai Kepala Staf TKR (Resimen) Sunda Kecil. Beliau senantiasa setia mendampingi komandannya (Pak Rai-pen) melakukan perang gerilya, menggempur kedudukan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di hutan-hutan, desa, maupun kota di seluruh Bali.

Setelah pertempuran di Tanah Aron-Karangasem, pasukan TKR (Resimen) Sunda Kecil sempat terpecah-pecah lagi dan diperintahkan kembali ke daerah masing-masing, karena kehabisan amunisi.

Kemudian, karena tidak berhasil menyebrang kembali ke Jawa, Pak Wisnu dan Pak Rai, serta beberapa kawan pejuang lainnya berusaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-peluru di Bali.

Baca Juga: Sejarah KOKAM: Pasukan Anti Komunis, Penjaga Muhammadiyah

Usaha itu berhasil dengan direbutnya dan diambilnya amunisi di Tangsi Polisi NICA Tabanan. Namun sialnya, tindakan itu diketahui oleh Belanda.

Pasukan Pak Rai yang dijuluki Ciung Wanara dikepung dan digempur habis-habisan oleh NICA dengan mengerahkan seluruh kekuatannya.

Pada hari yang naas, 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara yang bertempur dengan semangat puputan dihancurkan oleh NICA.

Pak Wisnu pun beserta Pak Rai dan 94 anak buahnya, gugur sebagai kusuma bangsa. Dan pertempuran tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai Pertempuran Puputan Margarana.***

Editor: Ahmad Latief Fahrezi

Sumber: Buku Bergerilya bersama Ngurah Rai


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x