DENPASARUPDATE.COM – Laporan Made Suardana, SH ke Polresta Denpasar terkait penyegelan Kantor Hukum/LABHI di kompleks Badak Agung, mengundang keprihatinan kalangan akademisi. Kriminolog Universitas Udayana, Dr. Gde Made Swardhana, SH, MH mengaku risih dengan berkembangnya opini yang menggunakan diksi atau kosa kata penyegelan dalam kasus tersebut. Mengapa?
Menurutnya, kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Terlebih istilah penyegelan masuk ranah hukum. Swardhana berpendapat, berdasar latar belakang, bahwa kasus Badak Agung dilatari perjanjian antar dua pihak.
Yaitu pihak pertama yang diwakili Ida Tojokorda Ngurah Jambe Pemecutan (alm) dan Made Suardana SH, selaku pihak kedua yang diberi amanat untuk memecah lahan di Badak Agung yang merupakan Laba Pura Merajan Satria seluas 12 hektar sudah dimohonkan sertifikat oleh almarhum, Tjokorda Ngurah Mayun Samirana (sebelum jadi raja) pada tahun 1991 terdiri dari 32 sertifikat.
Baca Juga: Manfaat Olahraga untuk Kesehatan Fisik dan Mental: Mengapa Aktivitas Fisik Penting?
Pihak kedua bahkan sudah diberi ”hadiah” berupa lahan seluas 3 are lebih yang kemudian dibangun kantor hukum diatas lahan tersebut. Namun sampai kasus terjadi pihak kedua tak merealisasikan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian.
”Berdasarkan perjanjian tersebut sudah seharusnya pihak kedua melaksanakan kewajibannya,” tandas Swardhana.
Sebaliknya, berdasar latar belakang masalahnya, tindakan yang dilakukan pengembang di Badak Agung bukan penyegelan, tapi lebih untuk memberikan shock teraphy kepada pihak kedua yang belum memenuhi kewajibannya, jadi berlebihan kalau tindakan itu disebut penyegelan,” tandas Swardhana.
Sebab menurutnya, penyegelan merupakan wewenang aparat atas izin Pengadilan Negeri. Dia menganalisa, berdasar fakta lapangan, dalam penutupan pintu itu tidak ada tanda segel, juga tidak ada police line. Sehingga pihaknya memastikan pihak pengembang Badak Agung tidak melakukan penyegelan sebagaimana dituduhkan.