Gula Merah dari Nira Khas Desa Sambirenteng Buleleng Mulai Rambah Pasar Premium, Begini Cara Olahannya

13 Januari 2023, 15:30 WIB
Proses pengolahan nira dari pohon lontar yang menjadi gula merah setelah diatas adonan /Kartika Mahayadnya/Denpasar Update

DENPASARUPDATE.COM – Bali juga merupakan salah satu daerah penghasil minuman tuak yang diambil dari pohon lontar yang berbuah selama ini identik dengan tanaman untuk menghasilkan minuman beralkohol tradisional khas Bali. Seperti tuak hingga arak. Selain itu, pohon lontar juga potensial untuk komoditas lain; yaitu gula merah yang diolah dari nira lontar.

Gula merah selama ini identik dengan tanaman aren. Tapi di wilayah timur Buleleng, gula merah justru lebih banyak dihasilkan dari pohon lontar. Maklum saja, di wilayah Kecamatan Tejakula, tanaman ini lebih mudah ditemukan.

Semula gula merah dari lontar hanya digunakan untuk konsumsi pribadi. Tapi kini gula merah lontar sudah dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Bahkan berpotensi menembus konsumen premium.

Baca Juga: Tahun Baru Imlek Sudah Dekat, Shio Apa yang Hoki di Tahun Kelinci Air 2023? Cek Keberuntunganmu Disini!

Seperti yang dilakoni Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) Amerta Boga, Desa Sambirenteng. Kelompok ini menghasilkan gula merah dengan kualitas dan kemasan premium. Gula tersebut ditempatkan dalam wadah toples yang biasa digunakan untuk wadah selai.

Perbekel Sambirenteng, I Ketut Suwastika mengungkapkan, pohon lontar di desanya cukup banyak. Ia sendiri tak mengetahui berapa banyak populasi pohon tersebut di desanya. Namun jumlahnya diperkirakan lebih dari seribu batang.

Menurutnya sejak lama masyarakat setempat sudah memproduksi gula lontar. Biasanya gula akan ditempatkan dalam wadah khusus dari anyaman daun lontar. Gula itu kemudian digunakan untuk konsumsi pribadi atau masyarakat sekitar.

Baca Juga: Pantai Favorit Wisatawan Asing Diamond Beach Nusa Penida Acap Makan Korban, Aktivitas Berenang Akan Dilarang

Ternyata produksi gula yang diproses secara organik itu menarik minat konsumen. “Mereka tahu bahwa prosesnya organik. Mulai dari menderas nira lontar, sampai dengan proses pembuatan, itu memang proses tradisional semua,” kata Suwastika.

Kemudian gula merah itu di-branding dengan kualitas organik. Kemasannya juga dikemas dalam wadah yang lebih modern. Tak disangka ternyata gula itu laku di pasar premium.

Gula dengan kemasan tradisional dari anyaman daun lontar misalnya, hanya laku Rp 18 ribu per kilogram. Sedangkan dengan kemasan premium, harganya bisa melonjak hingga Rp 32 ribu per kilogram.

Baca Juga: Info Tiket Laga Barito Putera vs Madura United, Buruan Beli!

Hanya saja untuk memproduksi gula lontar itu bukan hal yang mudah. Dalam sehari seorang petani lontar biasanya hanya bisa menghasilkan maksimal dua kilogram gula.

Suwastika menjelaskan, proses produksi cukup rumit. Para petani harus merangsang agar lontar menghasilkan nira. Biasanya butuh waktu hingga 30 hari, hingga mendapatkan nira dengan kualitas terbaik. Nira kemudian dipanaskan di atas penggorengan yang dipanaskan menggunakan kayu bakar.

Butuh waktu setidaknya selama 40 menit agar nira itu mengental menjadi gula. Dalam proses produksi nira pun harus diaduk terus menerus. Bila tidak, maka nira hanya akan mengental di bagian bawah. Kondisi api juga harus dijaga sebaik mungkin.

Baca Juga: WNA India Selundupkan Berlian 932 Butir dari Thailand ke Bali Dalam Lubang Anus Segera Diadili

“Kelihatannya saja mudah. Tapi cukup sulit. Harus benar-benar terbiasa, supaya bisa menghasilkan gula lontar dengan kualitas yang baik,” jelasnya. ***

Editor: I Gusti Ngurah Kartika Mahayadnya

Sumber: Denpasar Update

Tags

Terkini

Terpopuler