Pemerintah Bersama Tri Pusat Pendidikan Harus Lebih Optimal atasi Bullying/Perundungan di Satuan Pendidikan

- 25 Januari 2024, 08:16 WIB
Suasana sosialisasi pencegahan bullying atau perundungan di sekolah
Suasana sosialisasi pencegahan bullying atau perundungan di sekolah /KPAI for denpasar update/

JAKARTA, DENPASARUPDATE.COM – Kasus bullying dan perundungan pada satuan pendidikan terus menerus terjadi. pengawasan KPAI menunjukkan kasus kekerasan pada anak, khususnya pada satuan pendidikan diibaratkan seperti fenomena “gunung es”, satu kasus nampak, yang lain masih belum terungkap, satu kasus tertangani, masih banyak lagi yang terabaikan.

Tahun 2023, KPAI menerima laporan pengaduan sebanyak 3877 kasus, dari sejumlah pengaduan tersebut kekerasan pada Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya dan Agama sebanyak 329 kasus, dengan tiga aduan tertinggi; anak korban bullying/perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP), anak korban kebijakan, anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan.

Pengawasan KPAI menunjukkan bahwa kekerasan bullying/perundungan berakibat fatal, baik luka fisik permanen, trauma psikis, hingga menjadi penyebab kematian (20 kasus). Selain itu, KPAI  juga mengidentifikasi modus bullying dan perundungan yang sering terjadi; (1) pelaku tidak hanya sendiri, cenderung melibatkan teman lain, (2) dilakukan secara sadis, terbuka, dan seakan merasa “bangga”, tanpa malu dan tidak takut akibat yang akan ditanggung. selain itu, (3) ada upaya mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan, sehingga merasa bangga ketika viral dan berdampak secara psikis pada setiap yang menonton. KPAI juga menemukan masih ada warga satuan pendidikan menutupi kejadian bullying dan perundangan, karena dianggap akan merusak reputasi lembaga atau personalia di dalamnya.

 

Hasil pengawasan KPAI pada beberapa kasus menunjukkan bahwa bullying dan perundungan marak terjadi karena beberapa faktor, antara lain; Pertama, kondisi pengawasan, pembinaan, dan edukasi tentang bullying kurang optimal dari satuan pendidikan. Satuan pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik, bagaimana mengenali “circle” peserta didik, bagaimana interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan, bagaimana mengawasi media sosialnya, dan lainnya.

Kedua, sebagian warga satuan pendidikan masih menganggap bahwa bullying dan perundungan adalah masalah biasa seperti “kenakalan anak biasa”, mereka baru menyadari bahayanya setelah kasus terjadi, dan menemukan dampak fisik dan psikis yang mengancam tumbuh kembang anak, hingga ada anak yang meninggal, bahkan mengakhiri hidup akibat trauma bullying/ perundungan.

Ketiga, sistem pendidikan, kurikulum, dan praktik pembelajaran belum optimal dalam merespon perubahan perilaku peserta didik, baik karena pengaruh lingkungan atau media sosial. Beban transfer pengetahuan masih sangat berat, sehingga mengabaikan penguatan sikap, karakter, mental, dan adab/akhlak mulia. Akibatnya anak terlambat membentuk “konsep diri” yang baik.

 

Dengan konsep diri, anak dapat tumbuh kembang dengan kesadaran dan tanggung jawab akan perbuatannya, serta dapat membedakan perilaku baik dan buruk, mana yang perilaku merugikan dirinya dan atau orang lain, mana perilaku merugikan keluarga dan lembaga tempat dia belajar.

Halaman:

Editor: I Gusti Ngurah Kartika Mahayadnya

Sumber: Denpasar Update


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x