DENPASARUPDATE.COM –Lahirnya Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang semangat awalnya adalah melindungi para pencipta lagu dan pemilik hak terkait nasibnya kian tak jelas.
Nasibnya tidak menemukan kejelasan dalam industri permusikan kini dalam penerapannya yang diturunkan oleh beberapa peraturan seperti Kepmenhumkam no. HKI.2.OT.03.01-02 tahun 2016, Permenhumkam no. 36 tahun 2018, Permenhumkam No. 20 tahun 2020, hingga PP no. 56 Tahun 2021 menjadi kian tak menentu.
Perwakilan dari Aset Bangsa ID, Rezki Adminanda memaparkan, regulasi turunan dari UU 28 Tahun 2014 itu memberi amanat untuk adanya pembentukan LMKN sebagai wadah dari berhimpunnya LMK.
Menurutnya, LMKN yang dibentuk dengan tujuan mengelola royalti satu pintu, agar menjadi solusi dari silang kepentingan antar LMK justru menjadi masalah baru yang mengarah pada mafia permusikan.
Jika meninjau UU no.28 Tahun 2014, LMK secara tegas telah didefinisikan sebagai pemilik kewenangan untuk mengelola royalti, yang artinya hanya LMK saja yang diberikan tugas dan fungsi tersebut. Namun pada turunan aturannya, terjadi ketidakjelasan tugas serta wewengan yang bertentangan dengan UU no.28 tahun 2014.
Kedudukan LMKN yang patut dipertanyakan melalui berbagai perspektif. Termasuk dari sudut pandang hukum serta fungsinya menjadi penting ketika dalam berjalannya LMKN kini tidak menjadi suatu jalan keluar dari silang kepentingan antar LMK tersebut.
Mengacu pada UU 28 tahun 2014 dan seluruh aturan turunannya, terdapat ketidaksesuaian fungsi LMK dengan LMKN. LMK adalah suatu lembaga yang dijelaskan oleh UU no.28 tahun 2014, memiliki syarat mutlak dalam pembentukannya LMK yaitu memiliki keanggotaan serta surat kuasa dari pencipta lagu, sedangkan LMKN sama sekali tidak memiliki mandat dari pencipta lagu.